Selasa, 25 Desember 2007

Kredibilitas UGM dan UI Bisa Jatuh

[Seputar Indonesia] - Kami sangat prihatin dan kecewa sehubungan dengan kelakuan ilmuwan dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) yang menjadi pembicara dalam seminar publik yang berjudul “Kasus Pajak Asian Agri”. Para ilmuwan tersebut bukannya berpikir bagaimana mengembalikan keuangan negara yang potensial raib karena penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri, eh malah mempersoalkan jurnalis Tempo yang membongkar pertama kali dugaan penggelapan pajak.

Keprihatinan kami tentu juga menjadi keprihatinan anak bangsa lainnya, soalnya bagaimana mungkin lembaga besar dan ternama seperti Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UGM dan Pusat Pengkajian & Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI bisa dipinjam tangan untuk melakukan vonis terhadap jurnalis? Apalagi, dalam berbagai iklan yang dipublikasikan penyelenggara diskusi, yaitu Veloxxe Consulting (pemiliknya mantan wartawan Putut Prabantoro), menyatakan bahwa lembaga tersebut dibayar Asian Agri. Kami mohon penjelasan Rektor UGM dan Rektor UI, apakah penelitian seperti ini legal atau ilegal?

Kami juga meminta Rektor UGM dan Rektor UI untuk meneliti aspek ekonomis yang telah diperoleh kedua pimpinan lembaga tersebut. Penjelasan ini penting, soalnya kredibilitas kedua perguruan tinggi tersebut di ujung tanduk, apabila ada oknum-oknum di lembaga terhormat tersebut yang memperoleh manfaat finansial untuk kepentingan pribadi, baik yang dilakukan Hermin Indah Wahyuni, sebagai Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UGM, maupun Dwi Urip Premono, sebagai Executive Director Pusat Pengkajian & Penelitian ISIP UI, yang kebetulan menjadi pembicara dalam seminar tersebut. Dalam pandangan kami, akan sangat bijaksana jika para ilmuwan Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UGM dan ilmuwan Pusat Pengkajian & Penelitian ISIP UI bersama-sama dan bahu-membahu membantu menyelesaikan mengembalikan keuangan negara dari dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri.

Apalagi, Dirjen Pajak pernah menyebut bahwa potensial kerugian negara bisa mencapai lebih dari Rp1,3 triliun dan kasusnya kini sedang dimonitor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekali lagi, kami sangat prihatin dengan ilmuwan bayaran yang menisbikan faktor-faktor lain yang esensinya justru lebih penting dan lebih bernilai. Kami merinding, bagaimana nasib bangsa kita ke depan bila para ilmuwan –yang sering kali disebut memiliki hikmat dan kebijaksanaan,tetapi kelakuannya juga tergantung kepada fulus. Sungguh mengerikan.